Menggapai Impian tak semudah
Memetik daun
Oleh : Sahabat
Aku masih duduk termenung dan bersandar pada tiang didepan rumahku ketika air hujan mulai jalan beraspal yang tadinya panas. Angin dingin yang berhembus serasa memintaku untuk memintaku segera masuk kedalam rumah. Meskipun ini bulan Juni, namun hampir tiap hari samping rumahku digenangi oleh air dari langit. Sebenarnya hari itu aku bermaksud untuk menanti seseorang yang aku idolakan lewat didepan rumahku, namun orang yang telah kunantikan itu tak kunjung datang. Mungkin karena hujan yang makin lama makin deras itu.
Aku masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama di Surabaya. Beberapa bulan lagi mungkin aku akan naik ke kelas tiga. Di kelas aku tidak terlalu pintar, namun aku sering ikut berbagai macam kegiatan yang ada di sekolahku. Mulai dari kegiatan yang diadakan oleh temanku dikelas sampai kegiatan organisasi di sekolahku. Sebenarnya niatku mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut adalah untuk mengisi waktu luangku dirumah yang dulunya sering aku gunakan untuk nonton TV.
Siang itu aku baru pulang dari sekolah, entah mengapa rasanya aku ingin sekali cepat-cepat pulang. Tidak seperti biasanya tiap pulang sekolah aku selalu menyempatkan diri untuk mampir kerumah Uki teman sekelasku. Jarak rumahku kesekolah tidak terlalu jauh, sehingga aku berangkat dan pulang dengan berjalan kaki. Sebelum aku sampai di rumah dari kejauhan tampak sebuah mobil merah yang diparkir didepan rumahku. Di dalam hatiku aku cukup penasaran akan pemilik mobil itu, tanpa piker panjang aku langsung berlari menuju rumah.
“Assalamu’alaikum” ucapku sesampainya di rumah
“Wa’alaikum salam” jawab ibuku dan beberapa orang asing yang tapaknya sedang bertamu di rumahku.
Setelah berjabat tangan aku langsung menuju ke kamarku dan segera ganti baju. Saat aku mengganti baju tiba-tiba terdengar suara ibu memanggilku.
“Reza. . . . kemari sebentar”
“Iya bu. . . .” jawabku sambil mengenakan kaos berlogo bulu faforitku.
Setelah aku sampai di ruang tamu ibu memintaku untuk duduk disampingnya. Saat iku aku tidak tahu apa yang sedang asyik mereka bicarakan. Kemudian orang berambut putih yang duduk di kursi pojok itu berkata padaku
“Za, apa kamu ingin mendapat ilmu yang lebih banyak lagi?”
“Te. . tentu” jaabku tergesa-gesa. Aku belum pernah mengenal orang ini, namun ia berbicara seolah-olah telah banyak mengenalku.
“E. . .begini Za, kamu mau tidak ikut paman Ke Bandung, disana kamu dapat bersekolah lebih layak daripada di sini” ucapnya dengan nada bertanya.
Aku kaget sekali dengan ucapan orang itu, aku juga menjadi bingung apalagi ditambah dengan melihat wajah ibu yang sepertinya penuh harapan kepadaku. Saat itu aku merasa sulit sekali untuk berkata sesuatu.
“Gimana Za?” Tanya orang yang duduk disamping pintu.
“E. . . e. . . tidak ah. . .aku tidak mau meninggalkan teman-temanku sekalipun disana aku akan bersekolah di sekolah yang bagus. Meskipun sekolahku kurang bagus dan lengkap, namun di sini aku senang karena dapat berkumpul dengan teman-temanku” Jawabku spontan.
Setelah aku menjawab tadi wajah ibuku terlihat seperti kecewa. Aku menjawab demikian selain karena aku tak mau meninggalkan teman-temanku juga karena aku tidak tahu apa maksud dari ibuku. Tak selang berapa lama pemilik moil merak itupun berpamitan. Kemudian tanpa sepengetahuan ibuku aku langseng pergi kelapangan untuk berkumpul dan bermain dengan teman-temanku.
Tak seperti biasanya dilapangan tampak sepi, hanya ada Nazril lukman serta Maya yang asyik bernyanyi ria. Mereka memang gemar sekali menyanyi dan bermain alat musik. Aku langsung pergi menghampirinya. Merekapun dengan kompak menyapaku. Disana auk menceritakan kejadian yang baru terjadi dirumah tadi, kemudian merekapun memberikan pendapat mereka yang intinya mendukung pilihanku. Namun sebaliknya, Maya malah menyalahkanku karena aku langsung ambil keputusan tanpa persetujuan dari ibuku.namun aku tidak peduli, karena menurutku yang terpenting adalah pertemanan. Kami bermain di lapangan sampai matahari hampir terbenam.
Keesokan harinya, aku menjalankan rutinitasku mencontoh pekerjaan rumah teman sebangkuku. Aku memang sering mengerjakan PR ku di sekolah terutama untuk pelajaran matematika. Ketika bel masuk dibunyikan tampak semua temanku sibuk menyiapkan buku pelajaran. Tak lama kemudian Pak Indra masuk ke kelas dengan menggandeng seorang anak laki-laki yang sepertinya bukan berasal dari desa. Dan diperkenalkanlah anak itu, Namanya David, dia berasal dari Bandung. Kemudian pak Indra memintanya untuk menempati tempat duduk yang tepat berada didepanku.
“Hai, aku Reza.” Sapaku memperkenalkan diriku.
“David, sepulang sekolah nanti main ya!” Jawabnya.
“He’em”
Pelajaranpun berlangsung seperti biasa, membosankan karena setelah pelajaran pasti mendapat tugas dan PR. Kemudian aku menemui David dan mengajaknya memperkenalkannya kepada Nazril, Maya dan Lukman.
Seminggu telah berlalu, kamipun menjadi teman akrab. Saat aku sedang asyik bermain dengan mereka, tiba-tiba mobil merah yang beberapa waktu lalu berhenti dirumahku menghampiriku. Aku agak takut, karena aku khawatir akan diajak lagi pindah sekolah. Kemudian dari dalam mobil keluar orang yang kemarin mampir ke rumahku sambil berkata
“Reza. . . .apa kamu tidak mau merubah keputusanmu?”
Dugaanku tepat orang itu masih ingin mengajakku ke Bandung.
“Aku tetap pada keputusanku, dan aku sudah meminta izin kepada ibuku untuk keputusan ini.” Jawabku.
Beberapa hari yang lalu ibuku telah memberiku alasan mengapa ia memintaku ke Bandung. Ibuku bermaksud untuk menyekolahkan aku di tempat yang selama ini aku idam-idamkan, yaitu di sekolah musik. Namun aku tahu biayanya sangat mahal, jadi aku tak mau membebani ibuku. Orang itu hanya bagian dari promosi sekolah musik yang hanya ingin mencari siswa.
“Baik, jangan menyesal atas kalimatmu” jawab pria itu sambil pergi.
“Za, memangnya kamu suka musik?” Tanya David.
“Ya, aku suka sekali aku ingin jadi terkenal seperti band yang memiliki logo bulu merah itu lo. . . . Peterpan.” Jawabku sambil menunjukkan logo di bajuku.
“kenapa nggak bialng dari kemarin, ayahku pemilik studio rekaman yang sering dipakai Peterpan, kalau kamu mau kamu bisa belajar pada anak buah ayahku. Nanti kalau sudah mahir kamu bisa rekamansekalian.” Saran David.
“nggak ah, ntar ngrepotin lagi. Lagian aku juga tidak punya cukup uang.” Jawabku
“ah, gampang biar impas, ntar aku ikut gabung sama grup musikmu, tapi dengan catatan kamu harus ebih semangat sekolah dan kamu harus dapat minimal peringkat 3 dalam EBTANAS nanti. Karena sekolah ayahku biasanya Cuma ngasih beasiswa bua anak yang dapat peringkat saja” Jawabnya.
“Ok, mulai sekarang aku akan berusaha meraih mimpiku itu”
Sejak saat itu aku mulai gemar membaca, dan rutinitasku mencontek sudah agak berkurang. Dan akhirnya akupun dapat belajar di sekolah milik ayah David karena aku dapat peringkat kedua. Akhirnya aku, Lukman, Maya, David, Uki, dan Nazril dapat masuk sekolah tersebut hanya dengan nilai. Sampai saat ini aku masih punya impian dan imapianku akan selalu berkembang hingga nanti akhirnya terwujud.
Menggapai Impian tak semudah Memetik daun
VIII-F COMMUNITY, Jumat, 30 April 2010Mari, Ajari Anak Tak Jadi Plagiator!
VIII-F COMMUNITY, Selasa, 20 April 2010(Oleh Djamaluddin Husita di halaman Edukasi Kompasiana)
KOMPAS.com — Pada suatu hari ketika pulang sekolah, anak saya menanyakan kepada saya: "Ayah, bagaimana membuat sebuah cerita?" Rupanya, dia baru saja diberi tugas oleh gurunya di sekolah untuk membuat sebuah cerita bebas. Karena anak saya masih duduk di bangku kelas tiga SD, saya jadi susah untuk menjelaskannya.
"Oke, nanti Ayah ajarin," jawab saya sambil memikirkan cara agar anak saya mampu membuat cerita sendiri.
Ya, memang, di rumah saya banyak buku-buku cerita anak. Tetapi, saya tidak ingin menganjurkan anak saya untuk mengambil cerita di buku-buku cerita itu. Terus terang, saat itu saya tidak berpikir tentang plagiarisme. Yang ada dalam pikiran saya adalah, anak saya dapat membuat cerita sendiri.
Lalu, beberapa jam kemudian setelah dia istirahat, saya ajak dia untuk jalan-jalan sambil membawa buku catatan kecil dan pulpen. "Ini untuk apa?" kata anak saya.
Anak saya protes. Karena biasanya, kalau jalan-jalan pasti tidak membawa apa-apa. Mungkin, dalam pikiran dia, ayah ini aneh. Masak mau jalan-jalan membawa buku dan pulpen segala?
Saya katakan kepada anak saya, "Jalan-jalan kali ini beda dengan jalan-jalan biasanya. Kali ini, sambil jalan-jalan kamu harus menulis apa saja yang kamu lihat dalam buku catatan kecil ini,” ucap saya.
Maka, berangkatlah kami berkeliling di seputar tempat tinggal kami. Dan saya lihat, dia mendengar instruksi saya tadi. Dia mencatat semua yang dilihatnya.
Terus terang, saya tidak mau ikut campur dan tidak mengatakan apa-apa. Saya biarkan dia mencatat apa saja.
Menulis apa saja
Lalu, ketika malam tiba, baru kemudian saya menanyakan tentang apa saja yang dia catat. Dia membuka catatannya dan membaca semua yang dicatat itu.
"Sekarang, coba kamu ceritakan dalam sebuah tulisan tentang apa saja yang kamu lihat itu," kata saya.
Memang, saya lihat pertama-tama dia bingung harus menulis apa. Tetapi, saya beri dia support. "Coba kamu tulis dulu, tidak perlu bagus, yang penting ada. Nanti, kita koreksi bersama-sama," ujar saya.
Mungkin karena ini tugas sekolah, maka dia menulis apa saja tentang apa yang dilihatnya itu. Hingga akhirnya, sampai dua halaman buku, hasilnya dia perlihatkan kepada saya.
"Nah, ini kan bisa," kata saya.
Lalu, saya beri semangat padanya setelah saya baca semuanya. Dalam hati, cerita yang dibuatnya bagus juga, meskipun banyak alur yang tidak tepat dan banyak penggunaan kata yang berulang. Tetapi, untuk ukuran anak saya, ini adalah hasil yang luar biasa.
Setelah itu, barulah kemudian saya mengoreksi kata-kata yang berulang-ulang yang dibuatnya di situ, tetapi tanpa mengubah makna yang dia maksudkan. Saya pikir, agar anak tidak menjadi plagiator pada saat dia dewasa, peran orangtua juga sangat diperlukan semenjak dia masih kecil.
Ya, jangan biarkan anak-anak membuat sebuah cerita dengan hanya menjiplak cerita-cerita yang ada pada buku cerita. Atau, kita yang ikut-ikutan membuat cerita untuknya. Biarkanlah dia berkreasi sendiri, dengan caranya sendiri. Sebagai orangtua, kita cukup membimbingnya saja.